TELISIK | STABAT – Sidang tuntutan perkara Nomor 467, 468, dan 469/Pid.B/2022/PN Stb degan terdakwa DP, HS, HS, IS, TU, JS, SP dan RG, batal digelar, Rabu (26/10/2022) pagi. Pasalnya, tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Langkat belum juga siap. Mereka kemudian mengajukan penundaan selama seminggu, untuk kordinasi dengan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) tarkait tuntutan itu.
Hal itu disampaikan JPU kepada Ketua Majelis Hakim Halida Rahardhini SH MHum di Ruang Sidang Prof Dr Kusumah Admadja SH, di awal persidangan. Kemudian, Halida mempertanyakan perihal surat retitusi (ganti kerugian) dari LPSK yang disampaikan kepada JPU. Hal itu juga didengar para terdakwa secara virtual dari Rutan Kelas IIA Tanjung Gusta Medan.
JPU harus lebih aktif
Karena JPU menyatakan restitusi tersebut masih dalam disposisi, Halida dengan tegas mengingatkan JPU agar lebih aktif. “Karena saudara (JPU) mewakili korban di sini. Kenapa bisa begitu. Kita tergantung pada penahanan,” tegas Halida.
Terlepas dari hal tersebut, kata hakim pegiat Muay Thai itu, ada pertimbangan yang menyangkut masa penahanan para terdakwa. Sementara, pihak PN Stabat sudah menerima restitusi dari LPSK terhadap korban Sarianto Ginting serta Abdul Sidik Isnur alias Bedul, dengan terdakwa DP dan HS.
“Karena, restitusi yang diatur pada Perma Nomor 1 Tahun 2022, harus dijawab sama mereka (PH terdakwa). Kalau kalian (JPU) tidak kasih sekarang, kapan lagi mau dijawab sama mereka. Dalam Perma disebutkan, PH punya hak untuk menjawab,” tegas Halida, sembari menskor persidangan.
Batas waktu penahanan
Majelis hakim juga mengingatkan, minggu ke tiga November mendatang, perkara tersebut harus sudah divonis. Sehingga, majelis harus memenej persidangan dengan baik. Mengingat batas waktu penahanan para terdakwa.
Usai sidang diskor, JPU kemudian menyampaikan restitusi untuk DP dan HS dalam perkara pidana 170 KUHP dan 351 KHUP. Untuk perkara TPPO, JPU membebankannya kapada Terbit Rencana Peranginangin (TRP).
Dengan tegas Halida menerangkan, belum kewenangan Majelis Hakim untuk menjawab restitusinya. Karena, hal itu belum diajukan di depan persidangan. Selain itu, dalam tiga perkara tersebut, restitusi hanya baru diajukan untuk terdakwa DP dan HS. Kemudian sidang itu ditunda hingga, Senin (31/10/2022) mendatang. Untuk pembacan tuntutan, akan digelar, Rabu (2/11/2022) nanti.
Dalam restitusi yang disampaikan LPSK, pihak Sarianto Ginting dan Bedul meminta Rp265 juta, sebagai tunjangan kematian untuk para korban. Jawaban atas restitusi itu, akan disampaikan secara tertulis oleh PH para terdakwa pada agenda persidangan berikutnya.
JPU tidak etis
Terpisah, penasihat hukum (PH) para terdakwa, Mangapul Silalahi mengatakan, restitusi itu seharunsya terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sementara, dua berkas perkara kliennya adalah perkara 170 dan 351 KUHP, bukan perkara TPPO.
“Meskipun demikian, kami akan mempelajari lagi berkasnya. Tapi intinya, restitusi itu menyangkut TPPO. Bukan karena tindak pidana biasa. LPSK memohonkan itu melalui JPU sebagai pengacara negara,” terang Mangapul.
PH para terdakwa itu menilai JPU tidak etis menyampaikan soal TRP yang akan dibebankan restitusi. Karena, hingga kini berkasnya belum dilimpahkan. Kalaupun hal itu memang ada, sebaiknya ditahan dulu dan tidak disampaikan di persidangan.
Sudah menerima uang duka
Di tahun 2019, Bedul sudah menerima uang duka. Hal itu akan disampaikan PH para terdakwa pada persidangan berikutnya. Begitu juga Sarianto, pada persidangan sebelumnya, keluarga dia mengaku sudah menerima uang duka.
“Kita juga belum tau atas dasar apa muncul angka Rp265 juta itu. Apa dasar perhitungannya. Berkas restitusi dari LPSK baru kita terima hari ini. Jadi perlu kita pelajari dulu. Angkanya juga harus realistis. Bagaimana dasar penghitungannya,” tegas Mangapul.
Sekanjutnya, Mangapul dan timnya akan merundingkan hal tersebut kepada keluarga kliennya. Karena, keluarga kliennya lah yang pernah memberikan uang duka. “Nah, nanti bukti itu yang akan kita sampaikan di persidangan,” tuturnya. (Ahmad)