TELISIK | STABAT – Bersama puluhan rekannya, Mariana (56) warga Dusun X Mbacang, Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat hingga kini masih menduduki Gedung DPRD Langkat, Rabu (16/2) pagi. Mereka bertahan di sana, hingga biaya pembebasan lahan para petani itu dipenuhi oleh PT Thong Langkat Energi (TLE).
Wanita paruh baya itu mengaku, lahan perkebunannya sudah dua bulan lebih terendam banjir. Tanaman durian dan sawit yang ada di lahannya tak bisa dipanen. Dia terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebuthan nafkahnya.
Untuk kebutuhan hidup
“Biasanya, dari hasil sawit itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kami. Ada sekitar 35 rante lahan saya yang terendam. Kami cuma minta ganti untung, supaya kami bisa berkebun lagi di tempat lain,” tandas Mariana.
Pada kesempatan itu, wakil rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan Ralin Silungga melihat dan mendengarkan langsung keluhan warga di sana. Dia mengatakan, higga kini belum ada titik temu dari RDP yang digelar, Selasa (15/2) kemarin.
Sudah kelaparan
“Awalnya, pengusaha (PT TLE) mau memberikan ganti rugi Rp6 juta/rante. Setelah RDP, naik menjadi Rp8 juta/rante. Warga yang menjadi korban, belum bisa menerima itu. Mereka sudah dua bulan menjadi korban, sekarang mereka dah kelaparan. Jadi harus segera ada jalan keluarnya,” tandas pria berkacamata itu.
Sebelumnya, Puluhan warga dari Kecamatan Bahorok dan Kutambaru, Kabupaten Langkat mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan PT Thong Langkat Energi (PT TLE) di Aula Banggar DPRD Langkat, Senin (15/4) siang. Di hadapan wakil rakyat yang hadir, warga menuntut perusahaan pembangkit listrik itu untuk mengganti lahan mereka yang terendam. Mereka pun memilih bermalam di depan kantro walil rakyat itu, karena tuntutan mereka tidak dikabulkan.
Kegiatan itu dipimpin Ketua Komisi A DPRD Langkat Dedek Pradesa SSos I dan dihadiri beberapa anggotanya. Dalam sambutannya Dedek mengatakan, RDP itu digelar untuk mendengar keluhan warga yang lahannya terendam banjir. Kerugian yang dialami warga itu, merupakan imbas dari bendungan PT TLE, yang menutup aliran Sungai Wampu dan Sungai Kelinge.
Diagnti dengan yang sesuai
Pada kesempatan itu, Malem Pagi Pelawi (45) wara Dusun X Mbacang, Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru meminta, agar PT TLE dan wakil rakyat memperhatikan nasib mereka. Dia menyampaikan keluhan warga lainnya, yang terdampak dari pembangkit tenaga listrik tersebut.
“Kami menuntut hak kami demi kehidupan yang layak. Kami juga ingin menyekolahkan anak kami dengan baik. Dari hasil lahan itulah kami menggantungkan kelangsungan hidup kami. Kalau lahan kami diganti dengan nilai yang sesuai, kami bisa membeli lahan di daerah lain untuk bercocok tanam. Tolong dengar keluhan kami ini pak dewan,” tegas Malem.
Terlalu dipaksakan
Sebelum adanya kesepakatan, lanjut Malem, pihak perusahaan tetap memaksakan diri membuat bendungan. “Untuk biaya anak sekolah dan makan kami sudah minjam-minjam. Untuk mandi dan minum kami sudah tak punya sumber air bersih. Mata air bersih kami sudah terendam banjir. Sampai detik ini, nasib kami tidak diperhatikan,” tandas Malem sembari meneteskan air mata.
Pada kesempatan itu, pendamping warga bernama Meidi Kembaren menegaskan, sebelum adanya penyelesaian antara PT TLE dengan warga, maka bendungan harus dibuka. Hal itu bertujuan agar genangan air bisa segera surut. Wargapun bisa kembali memanfaatkan lahannya.
Jangan berlarut-larut
“PT TLE sudah membuat kesalahan dan merugikan masyarakat. Jadi kita harus segerah mengambil langkah konkrit. Jangan biarkan masyarakat menderita berlarut-larut. Kalau belum ada penyelesaian, maka harus di-standpass. Buka bendungan PT TLE, biar air bisa segera surut,” ketus Meidi.
Tokoh pemuda Langkat itu menambahkan, selama dua bulan lebih, sekira 30-an hektar kebun sawit warga terendam banjir. Sebahagian sawit disana tak bisa dipanen, bahkan sudah banyak tanaman yang mati. Dia dan warga berharap, agar wakil rakyat dan Pemkab Langkat segera memberikan jalan keluar untuk persoalan tersebut.
“Warga bukan berniat menghambat pembangunan. Kami hanya menuntut biaya pembebasan lahan yang sudah tergenang, akibat dari bendungan PT TLE. Kami minta ganti untung Rp16 juta / rante (400 meter persegi) untuk lahan yang tergenang, agar kami bisa membeli lahan di tempat lain,” tegas Meidi.
Belum ada kesepakatan
Menyikapi hal itu, General Manager PT TLE B Pasribu menegaskan, pihaknya hanya mampu memberikan Rp8 juta/rante untuk biaya pembebasan lahan tersebut. Terkait pembukaan pintu air bendungan, B Pasaribu tak bisa memenuhi permintaan warga itu.
“Kesanggupan kita hanya Rp8 juta/rante. Kalau waraga setuju, itulah yang akan kita bayar. Terkait masalah bendungan, itu gak bis akita buka. Kerena, butuh penyesuaian trafo kalau debit air diturunkan. Nanti, petugas PLN yang repot kalau debit air kita turunkan,” kilah B Pasaribu.
Karena tidak ada kesepakatan dalam RDP tersebut, Dedek Pradesa akhirnya memutuskan untuk menundanya. “Terimakasih atas semua masukannya. Ini semua kan jadi bahan bagi kita nantinya, untuk didiskusikan kembali dan mengambil jalan terbaik,” tandas Dedek.
Nginap di DPRD Langkat
Akhirnya, puluhan warga memilih untuk bermalam di gedung wakil rakyat itu. Mereka tidak akan beranjak dari sana, sebelum kerugian yang mereka alami mendapat kompensasi dari PT TLE. “Kami minta agar DPR dan pemerintah menyelesaikan permasalahan kami ini,” ketus Peringeten Kacaribu.
Hingga Selasa (15/2) malam, warga masih terlihat menduduki Gedung DPRD Langkat. Mereka bertekad, akan tetap berada di sana hingga persolan mereka diselesaikan. Mereka hanya menuntut kompensasi yang sesuai, agar mereka bisa kembali bercocok tanam di tempat yang baru. (Ahamd)