Opini >> Yong Ganas
Pria bertubuh gempal itu dijuluki si jenggot putih meski ia memiliki nama kecil yang ditabalkan kedua orang tuanya. Tapi belakangan orang lebih senang menyebutkan si Janggot putih. Mungkin pangilan itu pangilan olok-olokan saja. Tapi memang Jenggot pria ini sudah memutih.
Dalam perjalanan hidupnya, Si Jenggot putih yang kini telah berusia lebih dari setengah abad itu,telah melewati banyak fase suka duka kehidupan. Bak kata orang orang iya sudah puas makan asam garam kehidupan.
Sejak muda, ia telah terlibat dalam berbagai kegiatan diorganisasi kepemudaan, wirausaha, bisnis,dan keagamaan masjid di kampungnya. Meski memiliki usaha disana sini,tapi soal agama tetap nomor satu bagi si Janggot putih
Dia dikenal sebagai seorang pendidik yang lembut, sabar, dan selalu siap memberikan nasihat tanpa menghakimi. Setiap kali ada persoalan atau konflik, Janggot putih selalu hadir dengan solusi yang membawa kedamaian.
Dia adalah sosok yang dihormati, bukan hanya karena pengetahuannya yang luas, tetapi juga karena ketulusannya dalam membantu siapa saja yang membutuhkan. Kehidupannya sederhana, namun kaya dengan kebajikan.
Namun, belakangan ini, Jenggot purih merasa gundah. Negeri yang ia cintai terasa semakin carut-marut. Pembangunan di berbagai wilayah tak merata, di desa-desa terpencil, jalanan berlumpur dan sekolah-sekolah rusak tak terurus.
Korupsi merajalela, seolah menjadi budaya yang tak bisa diberantas. Kemiskinan pun tampak di mana-mana, merenggut harapan rakyat kecil.
Hati si Jenggot tergugah. Ia tak bisa lagi hanya berdiam diri melihat ketidakadilan ini. Dalam hening malam di masjid yang sepi, ia memanjatkan doa kepada Sang Pencipta, memohon petunjuk.
Setelah lama merenung, si Jenggot putih merasa bahwa ia harus berbuat lebih. Tidak cukup hanya menjadi pendidik di lingkungannya; ia ingin membawa perubahan nyata bagi negeri ini.
“Niatku untuk menjadikan negeri ini maju dan jaya bukanlah untuk diriku, tapi demi anak-cucu kita,” gumamnya dalam hati.
Dengan tekad yang bulat,pri Berjanggot memutuskan untuk terjun ke dunia politik. Bukan untuk mencari kekuasaan, melainkan untuk menegakkan keadilan dan memberantas korupsi. Dia tahu jalannya akan berat, penuh tantangan, dan mungkin akan ada banyak yang menentangnya.
Namun, dengan iman yang kuat dan niat yang tulus, si Janggot putih yakin bahwa dia bisa mengubah arah bangsa ini menuju kemajuan.
Kini, sosok pria berjenggot putih itu mulai mengumpulkan dukungan. Ia mendekati tokoh-tokoh masyarakat, ulama, dan para pemuda, menyampaikan visi besarnya tentang negeri yang adil, makmur, dan bebas dari korupsi.
Meskipun jalannya masih panjang, Janggot putih tak gentar. Dia yakin, selama ada niat baik dan usaha keras, tidak ada yang tidak mungkin.
Ia tahu bahwa jalan menuju kepemimpinan negeri bukanlah jalan yang bebas hambatan. Tantangan besar menantinya, salah satunya adalah pemilihan suara, di mana uang sering kali menjadi senjata utama bagi mereka yang ingin berkuasa.
Janggot putih sadar, ia tak memiliki harta berlimpah untuk membeli suara rakyat atau menaklukkan kursi para elite parlemen.
Ia melihat bagaimana para pesaingnya, yang didukung oleh kekuatan uang dan jaringan politik, dengan mudah melancarkan kampanye besar-besaran.
Namun, satu hal yang tak tergoyahkan dalam dirinya adalah keyakinan bahwa keadilan sejati tak bisa dibeli dengan uang. Suara Tuhan, pikirnya, berada di atas segala tipu daya manusia.
Setiap malam, Janggot putih berdoa, menengadahkan tangan, memohon petunjuk dan kekuatan. Ia percaya, meski tanpa kekayaan dan kekuatan politik, doanya yang tulus akan melintasi batas-batas dunia, langsung menuju langit.
Baginya, kemenangan bukan hanya soal jumlah suara, tetapi soal memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Di dalam hatinya, ia yakin, Tuhan tak akan membiarkan keadilan terkubur oleh ketidakjujuran. (**)