TELISIK | MEDAN – Kepala Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sumatera Subhan bertekad memburu para aktor intelektual dalam praktik kejahatan terhadap satwa dilindungi.
Menurutnya, penindakan terhadap kalangan tersebut akan memberi dampak yang lebih efektif.
Hal ini disampaikan Subhan pada diskusi tentang penegakan hukum terhadap perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar di Kantor YOSL-OIC, Medan, Sumatera Utara, Jumat (13/8/2021).
Diskusi digelar memperingati Hari Orangutan Sedunia 2021 atau World Orangutan Day oleh sejumlah lembaga seperti Sumatera Tropical Forest Journalism (STFJ), Forum Orangutan Indonesia (Forina) dan Forum Konservasi Orangutan Sumatera (Fokus).
“Saya lebih senang menangani penegakan hukum terhadap aktor intelektual yang punya skala besar, berdampak, itu akan lebih enak,” ujar Subhan.
Subhan menjelaskan, perburuan kalangan ‘atas’ bukan berarti mengabaikan pelaku di tatanan ‘bawah’.
“Yang saya katakan yang ‘kecil’ bukan tidak diproses. Yang kecil tetap kami dahulukan jika ditemukan di lapangan. Tapi jika dalam proses itu dia sebutkan aktor di atasnya, kami buru yang di atas itu,” kata Subhan.
“Intinya bagaimana kami selesaikan persoalan. Jangan cuma sekadar selesaikan pekerjaan,” sambungnya.
Berdasar pengalaman Subhan, setidaknya ada tujuh modus operandi yang dilakukan para pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi.
Satu di antara trik pelaku tersebut yakni melibatkan oknum-oknum aparat untuk melancarkan aksinya. Cara lain yang biasa pelaku tempuh adalah memanfaatkan media sosial atau aplikasi gadget lain.
Mereka juga biasa menerapkan sistem pembayaran di tempat atau familiar dengan istilah Cash On Delivery (COD) serta menggunakan jasa kurir.
Para pelaku gemar memanfaatkan keistimewaan rekening bersama dan terkadang mengelabui petugas dengan mencampur satwa ilegal dengan satwa legal saat proses penyelundupan.
“Adanya backing aparat dan masih ada pelaku yang memasang jerat babi tapi juga berharap ‘mendapat hasil lebih’,” kata Subhan.
Subhan menambahkan, penegakan hukum dalam penanganan kejahatan terhadap satwa dilindungi bersifat Ultimum Remedium.
Penerapan hukuman penjara merupakan alternatif terakhir. Jika upaya preventif atau pencegahan berjalan baik, maka penegakan hukum semestinya tidak sampai pada tahap tersebut.
“Jadi ingat, penegakan hukum itu bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan persoalan. Banyak langkah bisa dilakukan. Tindakan hukum sebenarnya alternatif terakhir dalam menyelesaikan masalah,” ujar Subhan.
Menurut Kepala Bidang Teknis KSDA Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara Irzal Azhar, praktik kejahatan terhadap satwa orangutan masih marak terjadi.
Dari catatan BBKSDA Sumatera Utara, setidaknya terdapat 31 individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) yang diserahkan masyarakat.
“Khusus orangutan ini semakin marak terjadi,” kata Irzal yang hadir pada diskusi secara virtual.
Irzal juga tidak memungkiri keterlibatan ‘orang kuat’ sehingga menyulitkan upaya penyelamatan terhadap orangutan.
“Biasanya dipelihara masyarakat, kemudian kami melakukan penyuluhan dan sebagainya. Bisanya mereka akan menyerahkannya kepada kami. Kecuali memang ‘orang-orang kuat’ yang memelihara dan kami susah untuk mendobrak mereka,” kata Irzal.
Berdasarkan data 2016, Orangutan Sumatra di alam liar tersisa hanya sekitar 14.470 individu. Jumlah tersebut sudah termasuk Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang jenisnya baru dinyatakan berbeda dari Orangutan Sumatra pada 2017 lalu.
Kini, Orangutan Tapanuli diperkirakan hanya berjumlah tak lebih dari 800 individu.
Orangutan Sumatra berhabitat asli di hutan dengan pepohonan tinggi. Masih berdasar data 2016, ada 10 populasi orangutan yang tersebar di tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatera Utara dan Jambi.
Populasi terbanyak ada di Leuser Barat, yakni 5,920 individu. Lalu ada di Leuser Timur dengan 5,780 individu dan Trumon-Singkil dengan 1,270 individu.
Populasi lainnya ada di Sikulaping dengan 260 individu, di Tria Swamp ada 210 individu, di Siranggas atau Batu Ardan ada 90 individu.
Kemudian juga terdapat dua titik lokasi reintroduksi populasi Orangutan Sumatera, yakni di Bukit Tiga Puluh sebanyak 120 individu dan di Jantho sebanyak 60 individu.
Sedangkan populasi Orangutan Tapanuli berada di Batang Toru Barat sebanyak 600 individu dan di Batang Toru Timur sebanyak 160 individu.
Jumlahnya yang memprihatinkan membuat satwa Orangutan Sumatra masuk dalam kategori kritis atau Critically Endangered versi International Union for Conservation of Nature. (AViD)