Langkat –TELISIK.NET
Praktik pungutan “fee proyek” kembali mencuat di Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUPR) Kabupaten Langkat.
Sumber terpercaya menyebutkan bahwa pungutan mencapai 17% dari total anggaran proyek masih menjadi rahasia umum di lingkungan dinas ini.
Pungutan tersebut diduga dilakukan dengan metode bervariasi, mulai dari pembayaran di muka, setengah pembayaran, hingga pelunasan setelah proyek selesai.
Praktik ini diduga melibatkan oknum pejabat hingga jajaran tertentu di dinas tersebut.
Kadis PUPR Dilaporkan ke Polisi
Kepala Dinas PUPR Langkat, Khairul Azmi, bahkan sempat dilaporkan oleh salah seorang rekanan ke Polres Langkat.
Sang rekanan mengungkap bahwa Khairul Azmi meminta fee proyek sebesar Rp100 juta dengan iming-iming akan diberikan paket proyek.
Namun, janji tersebut tidak pernah terealisasi, hingga akhirnya berbuntut pada pengaduan resmi kepada pihak berwajib.
Kadis Sulit Ditemui, Berkantor di Kafe Kopi
Selain dugaan pungutan liar, Khairul Azmi juga disebut sebagai sosok yang sulit diakses.
Di saat musim proyek, ia jarang terlihat di kantor dan kerap dikabarkan “berkantor” di sebuah kafe kopi tertentu.
Upaya konfirmasi melalui nomor telepon pun nihil, karena tidak ada satupun nomor teleponnya yang aktif.
Bahkan, untuk urusan dengan rekanan, Khairul Azmi dikabarkan mengandalkan dua orang kepercayaannya, DT dan AG, yang disebut-sebut sebagai “pintu masuk” bagi kontraktor yang ingin mendapatkan proyek.
Tuntutan Penegakan Hukum
Masyarakat dan kalangan pemerhati pembangunan mendesak aparat penegak hukum untuk menyelidiki dugaan permainan kotor yang terjadi di dinas ini.
“Jika praktik seperti ini terus dibiarkan, maka pembangunan di Langkat tidak akan maksimal.
Penegak hukum harus segera turun tangan,” ujar seorang pemerhati pembangunan yang enggan disebutkan namanya.
Ketidakjelasan keberadaan Kadis PUPR serta dugaan pungutan liar ini memicu keresahan di kalangan kontraktor dan masyarakat.
“Bagaimana pembangunan bisa maksimal kalau sebagian besar dana habis untuk fee? Ini membebani kami sebagai pelaksana,” tambah salah seorang kontraktor yang menjadi korban.
Transparansi dan akuntabilitas menjadi tuntutan utama masyarakat untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Dinas PUPR Langkat, yang seharusnya menjadi ujung tombak pembangunan infrastruktur di daerah.
Kini, sorotan tajam tertuju kepada aparat penegak hukum untuk menindak tegas praktik-praktik yang merugikan masyarakat ini.
Apakah ada keberanian untuk membongkar kasus ini? Kita tunggu langkah berikutnya.(yong)