TELISIK | KUTAMBARU – Puluhan hektar kebun sawit warga di Desa Kuta Gajah dan Lau Damak, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat terendam banjir. Tak hanya produktifitasnya menurun, bahkan tanaman palem di sana juga banyak mati terendam. Warga menuding, PT Thong Langkat Energi (PT TLE) lah yang harus bertanggungjawab atas kerugian yang mereka alami.
Tak hanya di dua desa tersebut, kebun di Desa Namo Tongan dan Ujung Bandar, Kecamatan Kutambaru, Kabupaten Langkat juga terendam. Sudah berjalan dua bulan genangan air melimpah ke kebun warga. Tanaman mereka tak bisa dipanen, karena terkendala dengan tingginya genangan air.
Akibat Bendungan
Masyarakat di sana menuding, sejak berdirinya pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM) Batu Gajah yang dikelola oleh PT TLE, kebun mereka rusak. Bendungan yang dibangun perusahaan pembangkit listrik itu, menyebabkan air Sungai Wampu tak mengalir sebagaimana mestinya. Genangannya bahkan mencapai beberapa kilometer dan membuat aliran sungai semakin melebar.
“Dah dua bulan lebih kami gak bisa panen. Sawit kami mati terendam. Liatlah, genangannya aja lebih dari 5 meter. Kami minta agar PT Thong Langkat Energi bertanggungjawab. Kami minta ganti untug atas kerusakan lahan kami ini,” tegas Hamdani (43) warga Dusun Suka Mulya, Lau Damak, Bahorok, Selasa (8/2) siang.
Hasil Panen Turun Drastis
Selama mengalami banjir, lanjut Hamdani, hasil panen buah sawitnya turun drastis. Biasanya, kebun milik pria bertubuh tambun itu mampu menghasilkan TBS sebanyak 4 ton. “Sekarang paling dapat hasil cuma 1 ton. Karena pohonnya terendam, buahnya busuk sebelum tua, jadi gak bisa kita panen,” jelasnya lebih mendalam.
Warga mendesak PT TLE agar bisa segera mengatasi persoalan tersebut. Meskipun mediasi sudah dilakukan, namun belum ada hasil yang disepakati. “Kami minta biaya pembebasab lahan Rp16 juta/rante (400 meter persegi). Tapi pihak perusahaan bertahan dengan nilai Rp6 juta/rante. Kalau segitu, gak maulah kami,” tandas Hamdani.
Gak Bisa Panen
Hal senada disampaikan warga Dusun X Mbacang, Kuta Gajah, Kutambaru Malem Pagi Pelawi (45) yang juga resah. Lebih kurang dua hektar kebun miliknya terendam banjir. Tak ada buah sawit miliknya yang bisa dipanen. “Karena bendungan PT TLE, aliran air balik lagi ke hulu. Genangan air di sini cukup dalam, jadi aku gak bisa manen sama sekali,” keluhnya.
Pria berdarah Karo itu berharap, agar pihak PT TLE segera menyelesaikan pembebasan lahan mereka. Kepada instansi pemerintahan, diharapkan agar memperhatikan nasib masyarakat di sana. “Tolong jembatani kami dengan PT TLE. Kami sangat resah, kami dah kehilangan mata pencarian. Persoalan ini harus segera diselasaikan,” tandasnya.
Kehilangan Sumber Air Bersih
Selain tanaman warga yang gagal panen, masyarakat di sana juga kehilangan sumber air bersih (biasa disebut masyarakat sekitar pancur). Sejak tergenang, pancur tak lagi terlihat. Masyarakat sekitar terpaksa membeli air bersih untuk mereka minum. “Sekarang kami harus beli air untuk minum,” ketus Hermanti Sitepu (59) dengan nada kesal.
Terpisah, pengelola PT TLE Dianta Tarigan menjelaskan, pihaknya sudah berulang kali melakukan mediasi dengan warga sekitar. Beberapa warga, sudah menerima biaya pembebasan lahan Rp6 juta/hektarnya. “Kita sudah menyerahkan ke pemerintahan untuk menjembatani ini. Kalau warga mau dengan nilai segitu, langsung kita bayar,” terang Dianta.
PT TLE merupakan perusahaan pembangkit listrik dengan kapasitas 2 x 5 Mega Watt (10 MW). Daya yang dihasilkan mempu menyuplai kebutuhan listrik untuk lima kecamatan. “Hingga saat ini, energi listrik yang kita hasilkan sudah disalurkan ke Kecamatan Bahorok, Salapian, Sirapit, Kutambaru dan ke Kecamatan Kuala,” tandasnya. (Ahmad)