Catatan : Yong dari serambi
Kalau kita bertandang ke Pulau Sabang Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) tak lengkap rasanya bila tak singgah ke Pulau Rubiah.
Nama Rubiah mungkin terdengar asing di telinga kita, namun tidak bagi orang-orang Aceh. Nama ini merupakan nama yang penuh sejarah sehingga dijadikan nama sebuah pulau yang berada di seberang Pantai Iboih.
Ya, Pulau Rubiah. Rubiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti (1) wanita yang saleh, (2) istri Ulama (Sumber: ini).

Inilah makam Ummi Sarah Rubiah atau biasa dipangil Siti Rubiah yang berada di Pulau Rubiah – Sabang. Kawasan ini selalu ramai dikunjungi wisata baik lokal maupun Nasional untuk menikmati indahnya pemandangan bawah laut ditempat ini. (yong)
Kalau menilik cerita masa lalu, (Siti) Rubiah merupakan seorang istri dari Tengku Ibrahim yang digelar Tengku Iboih. Tengku Ibrahim merupakan seorang ulama dan guru mengaji, jadi arti dari Rubiah yang kedua (Istri Ulama) adalah benar adanya.
Siti Rubiah juga merupakan seorang wanita yang taat. Kala Tengku Ibrahim harus menetap selama beberapa waktu di Pulau We untuk berdakwah, diapun menyusul suaminya ke sana.
Namun karena adanya sedikit cek cok, Siti Rubiah harus berpisah dengan Tengku Ibrahim. Tengku Ibrahim tinggal di Iboih dan Siti Rubiah tinggal di Pulau di seberang Pantai Iboih.
Kepindahan Siti Rubiah di pulau inilah yang membuat pulau ini diberi nama Pulau Rubiah. Dan dipulau ini jugalah Siti Rubiah di Makamkan.
Pulau Rubiah ini memiliki taman laut yang cantik. Hampir setiap akhir pekan pulau ini selalu ramai dikunjungi wisatawan yang ingin merasakan keindahan dan keseruan snorkeling atau diving di Taman Laut Pulau Rubiah ini.

Puluhan sampai ratusan orang baik dari dalam atau luar Aceh akan datang ke Pulau We dan kemudian menuju ke Pulau Rubiah ini.
Salah satu alasan banyaknya orang yang berkunjung ke Taman Laut Rubiah ini selain karena biru lautnya yang menggoda adalah karena airnya yang tenang.
Belum lama ini penulis bersama keluarga memanfaatkan libur lebaran tuk mengunjungi Pulau Rubiah. Setelah menyebrang dari pelabuhan Ulele Banda Aceh mengunakan Kapal Roro, penulis dan keluarga bermalam disalah satu Home Stay disana.
Rasa aman dan nyaman memang begitu terasa di Pulau berjuluk ” Pulau Wali” ini, karena menurut masyarakat ada puluhan Wali yang singgah mengembangkan ajaran agama Islam dan wafat di Sabang.
Dan setelah melepas penat, pagi pagi penulis dan keluarga bergegas menuju Iboh dengan menumpang mobil yang telah di Carter.
Tak butuh waktu lama, ahirnya penulis dan keluarga tiba dilokasi yang dituju. Lokasinya yang terletak di antara Pulau Rubiah (Depan Pulau Rubiah) dan Pantai Iboih membuat jarang sekali muncul ombak kencang di spot snorkeling atau diving ini.
Ada apa saja sih di Taman Laut Rubiah ini? Ada 2 jenis keindahan bawah laut yang bisa dinikmati di sini. Yang pertama adalah keindahan bawah laut alami dan yang kedua adalah keindahan bawah laut buatan.
Keindahan bawah laut alami yang penulis maksud di sini adalah keanekaragaman karang dan ikan laut yang memang tumbuh dan berkembang secara alami di sini.

Sedangkan keindahan bawah laut buatan adalah benda atau sesuatu yang sengaja diletakkan manusia di bawah laut untuk mengisi kekosongan dan mempercantik pemandangan bawah laut.
Di taman laut ini kita bisa menemukan ikan-ikan hias berwarna-warni yang kalau diberikan roti/ mie instan maka ikan-ikan tersebut akan langsung menyambarnya.
Ada juga karang dari berbagai jenis dan ukuran. Hanya saja untuk menemukan karang yang masih dalam kondisi sangat bagus, kita harus berenang sedikit agak ke arah barat dari Dermaga Rubiah.
Kondisi karang yang berada di dekat dermaga (area snorkeling), umumnya sudah tidak bagus alias rusak.
Kalau mau melihat kondisi karang yang masih bagus di dekat dermaga (Rubiah), kita harus menyelam pada kedalaman yang cukup dalam, tak cukup hanya dengan snorkeling.
Di taman laut ini kita juga bisa berjumpa dengan lionfish atau ikan badut alias Clownfish.
Nah, di Taman Laut Rubiah ini ada cukup daerah yang luas dimana dasarnya hanyalah pasir putih. Untuk mempercantik daerah tersebut maka diletakkanlah beberapa benda yang tidak umum seperti ayunan, meja dan kursi, bangkai mobil dan bangkai motor, bahkan miniatur dari Tugu 0 Kilometer pun ada di bawah sini.

Benda-benda tersebut bisa menjadi properti yang mempercantik foto bawah laut kalian. Inilah yang Daily Voyagers maksud dengan keindahan bawah laut buatan.
Selain sebagai tambahan untuk mempercantik foto bawah laut, benda-benda tersebut juga berguna bagi ikan-ikan di sana.

Bangkai mobil contohya, rangkanya yang terbuat dari besi bisa menjadi tempat bagi karang untuk bertumbuh dan juga tempat bagi ikan-ikan untuk bertelur dan berkembang biak.
Keamanan saat melakukan aktivitas snorkeling di sini pun cukup baik. Terdapat pelampung dan tali pembatas di laut yang menandakan kalau daerah tersebut adalah daerah untuk snorkeling atau diving sehingga perahu atau kapal motor tidak masuk sembarangan ke wilayah tersebut.
Kabarnya, keindahan bawah laut pulau Rubiah yang paling bagus terletak di balik pulaunya (bukan di bagian depan dekat dermaga). Bagi yang penasaran bolehlah di cek.
Selain dikenal sebagai Surganya bawah laut, ternyata Pulau Rubiah punya cerita lain. Seperti dikutip penulis dari kemenag.go.id Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman mengatakan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik di Pulau ini.
Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh. Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

Penulis bbersama keluarga saat berada di Pulau Rubiah berkeliling Pulau tuk melihat ikan Lumba lumba salah satu andalan wisata ditempat ini. (yong)
“Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib,” kata Albina.
Karantina yang diterapkan selama 40 hari, jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.
“Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” kata Albina.
Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.
Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.
“Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan,” ujarnya.
Sejak saat itu, pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji. (yong)