TELISIK.NET – LANGKAT
Politik uang, yang seharusnya dianggap memalukan dan melanggar hukum, kini tampak mulai dianggap sebagai hal lumrah dalam pemilihan umum dan Pilkada.
Praktik ini tidak hanya menghancurkan nilai-nilai demokrasi, tetapi juga memunculkan para pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dibandingkan kesejahteraan rakyat.
Dalam pemilihan calon kepala daerah, politik uang sering kali dilakukan dengan memberikan imbalan materi kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menyebut politik uang sebagai “mother of corruption” atau induk dari korupsi.
Praktik suap ini memengaruhi pemimpin yang terpilih untuk melakukan tindakan korupsi guna mengembalikan biaya yang dikeluarkan selama kampanye.
UU Nomor 10 Tahun 2016 dengan tegas melarang praktik politik uang. Bagi pelaku, baik itu calon, tim kampanye, atau pemilih, ancaman pidana berat telah disiapkan.
Calon yang terbukti terlibat bisa dibatalkan pencalonannya, sementara pelaku lainnya terancam pidana penjara hingga 72 bulan dan denda maksimal Rp1 miliar.
Politik uang tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga menciptakan lingkaran korupsi yang merugikan masyarakat luas.
Hanya dengan menolak praktik ini, masyarakat dapat memastikan pemilihan yang bersih dan pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat.
Sebagai lembaga pengawas pemilu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memegang peran kunci dalam memastikan pemilihan umum berjalan dengan adil, jujur, dan bebas dari kecurangan.
Namun, semakin maraknya praktik politik uang di berbagai daerah, terutama dalam kontestasi Pilkada, menuntut Bawaslu untuk mengambil sikap yang lebih tegas dan efektif.
Politik uang, yang secara jelas diatur sebagai pelanggaran dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, tidak hanya mengganggu proses demokrasi, tetapi juga merusak moralitas pemimpin dan masyarakat.
KPK bahkan mengategorikan politik uang sebagai induk dari korupsi, yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat ketika pemimpin terpilih merasa perlu “mengembalikan” modal kampanye mereka dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Dalam konteks ini, peran Bawaslu seharusnya menjadi garis pertahanan utama dalam menjaga integritas pemilu.
Ketegasan Bawaslu dalam menindak pelaku politik uang, baik itu calon kepala daerah, tim kampanye, maupun pemilih, sangat penting untuk memastikan demokrasi tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsipnya.
Tanpa tindakan yang tegas dan konsisten, kepercayaan publik terhadap pemilu akan terus tergerus.
Masyarakat mengharapkan Bawaslu tidak hanya hadir sebagai pengawas pasif, tetapi juga sebagai garda depan dalam memproses setiap laporan dan bukti politik uang dengan cepat, transparan, dan adil.
Langkah proaktif dari Bawaslu dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya politik uang juga sangat diperlukan, mengingat masih banyak pemilih yang terjebak dalam praktik ini karena minimnya informasi atau tekanan sosial.
Tantangan ini semakin besar ketika praktik politik uang kerap kali terjadi secara sembunyi-sembunyi atau melalui berbagai modus baru yang sulit dilacak.
Namun, Bawaslu harus menggunakan segala sumber daya dan kewenangannya untuk menindak pelaku dengan hukuman yang setimpal, termasuk pembatalan pencalonan bagi pasangan calon yang terbukti terlibat.
Hanya dengan ketegasan Bawaslu, kita bisa memutus mata rantai korupsi sejak dari proses pemilihan.
Pemilu yang bersih adalah pondasi dari pemerintahan yang bersih. Oleh karena itu, Bawaslu harus menjalankan perannya dengan penuh integritas dan tanggung jawab.
Masyarakat pun harus mendukung upaya ini dengan melaporkan setiap pelanggaran yang terjadi, demi mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. (Red)