Catatan Ahok dari Tanah Karo, – Telisik.net
Gerakan kesadaran budaya “Karo Bukan Batak” semakin nyata dengan aksi penertiban stiker “Horas” dan “Mauliate” yang terpajang di pintu masuk ritel Indomaret di kawasan Berastagi-Kabanjahe.
Gerakan ini dipelopori oleh Hastrada Sukatendel dan Roni Sembiring Milala, yang menegaskan bahwa istilah “Horas” bukanlah salam khas Karo, melainkan bagian dari budaya Batak Toba, Simalungun, dan Mandailing.
Dari Diskusi ke Aksi: Kesadaran Budaya Karo
Selama ini, wacana “Karo Bukan Batak” telah menjadi diskursus penting bagi masyarakat Karo.
Menurut para penggerak gerakan ini, label “Batak Karo” merupakan strategi halus untuk mengintegrasikan budaya Karo ke dalam identitas Batak secara lebih luas.
Hal ini dianggap sebagai bentuk hegemonisasi budaya yang berpotensi mengaburkan identitas asli suku Karo.
Gerakan ini bukan sekadar perdebatan akademis, tetapi melahirkan aksi nyata.
Kesadaran akan identitas budaya yang terdistorsi kini berkembang menjadi massa aksi, sejalan dengan pemikiran Tan Malaka yang menyatakan bahwa kesadaran harus berujung pada pergerakan.
Mengapa Stiker “Horas” dan “Mauliate” Harus Ditertibkan?
Menurut aktivis Karo, pemasangan stiker “Horas” dan “Mauliate” di Berastagi-Kabanjahe bukan sekadar hiasan, tetapi memiliki dampak psikologis yang kuat.
Secara tidak langsung, ini membentuk pemahaman keliru bahwa salam tersebut adalah bagian dari budaya Karo.
Akibatnya, masyarakat lokal maupun wisatawan dapat salah mengartikan bahwa Karo adalah bagian dari Batak.
Penertiban stiker ini dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap informasi yang menyesatkan dan langkah konkret dalam menjaga keaslian budaya Karo.
Gerakan Berbasis Konstitusi dan Amanat Pancasila
Aksi ini bukan sekadar bentuk protes, tetapi juga memiliki landasan hukum yang kuat.
UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan dan Pelestarian Kebudayaan menegaskan bahwa setiap warga negara wajib melestarikan kebudayaan daerahnya.
Dalam konteks ini, menjaga orisinalitas budaya Karo dari asimilasi yang tidak sesuai adalah bagian dari hak dan kewajiban masyarakat Karo.
Selain itu, gerakan ini juga selaras dengan amanat Pancasila, sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, termasuk dalam aspek keadilan berbudaya.
Dukungan dan Seruan Masyarakat Karo
Aksi yang dilakukan oleh Hastrada Sukatendel dan Roni Sembiring Milala mendapat banyak dukungan dari masyarakat Karo.
Dalam video penertiban, Roni Sembiring Milala menegaskan, “Kami bukan rasis,” yang menunjukkan bahwa gerakan ini bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan upaya menjaga jati diri dan hak budaya masyarakat Karo.
Gerakan ini juga mengajak seluruh masyarakat Karo untuk lebih aktif dalam menertibkan publikasi atau upaya populerisasi budaya yang tidak mencerminkan identitas Karo di ruang publik wilayah Karo.
“Karo akan tetap mejaga jika kita menjaga,” menjadi seruan utama dari gerakan ini.
Kesimpulan: Karo Bergerak untuk Melindungi Budaya
Aksi penertiban stiker “Horas” dan “Mauliate” di Berastagi-Kabanjahe menjadi momentum penting dalam menjaga identitas budaya Karo.
Ini bukan sekadar reaksi spontan, tetapi bagian dari kesadaran kolektif untuk mempertahankan keaslian budaya dari upaya hegemoni.
Dengan landasan diskusi, aksi nyata, serta dukungan konstitusi dan nilai-nilai Pancasila, gerakan “Karo Bukan Batak” semakin mempertegas bahwa budaya Karo harus dilestarikan tanpa campur tangan asimilasi yang mereduksi identitas aslinya.(Ahok)