Terlihat kontras antara kemewahan birokrasi dengan kondisi rakyat yang masih memprihatinkan—visual yang bicara lebih keras dari kata-kata. (ilustrasi)
Telisik.net –
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Langkat Tahun Anggaran 2024 mencatat rekor baru.
Dari yang semula direncanakan Rp 1,993 triliun, realisasi belanja daerah justru membengkak menjadi Rp 2,168 triliun.
Ada lonjakan fantastis Rp 174,9 miliar—angka yang seharusnya menjadi angin segar bagi pelayanan publik. Tapi benarkah demikian?
Fakta di lapangan justru memunculkan tanya besar: siapa sebenarnya yang menikmati kue APBD Langkat 2024 ini?
Masyarakat yang mendambakan pembangunan, atau justru birokrasi yang makin gemuk?
Pegawai Senang, Masyarakat Bimbang
Pos Belanja Pegawai menyedot perhatian. Dari pagu awal Rp 987,76 miliar, anggaran ini naik drastis hingga Rp 1,221 triliun—atau setara 123,63 persen.
Ini artinya, lebih dari separuh belanja daerah Langkat tahun 2024 digunakan untuk membayar gaji, tunjangan, dan segala rupa fasilitas aparatur pemerintah.
Bandingkan dengan Belanja Barang dan Jasa yang seharusnya menopang layanan publik.
Dari pagu Rp 359,28 miliar, yang terealisasi hanya Rp 290,21 miliar (80,77 persen).
Ironis, sementara di desa-desa banyak sekolah kekurangan fasilitas, jalan-jalan berlubang, puskesmas sepi obat, dan pelayanan dasar masyarakat masih jauh dari kata layak.
Rakyat pun mulai bertanya-tanya, “Apa sebenarnya prioritas pemerintah daerah? Melayani rakyat atau memanjakan pegawai?”
Belanja Modal Naik, Tapi Pembangunan Masih Sekarat
Belanja Modal tercatat melonjak dari Rp 162,31 miliar menjadi Rp 203,03 miliar atau 125,09 persen.
Tapi coba lihat sekeliling kita, pembangunan apa yang benar-benar terasa? Di pedalaman, akses jalan rusak parah, irigasi pertanian tak tersentuh, dan infrastruktur publik minim perhatian.
Lalu, ke mana larinya tambahan anggaran itu? Masyarakat Langkat berhak mendapat penjelasan, bukan hanya angka-angka di atas kertas.
Bantuan Sosial: Nasib Rakyat Cuma Jadi Sisipan
Paling tragis adalah realisasi Belanja Bantuan Sosial. Dari pagu Rp 11,68 miliar, hanya Rp 3,05 miliar yang disalurkan (26,13 persen).
Ini jelas mencederai rasa keadilan sosial, apalagi saat banyak rakyat kecil di Langkat masih hidup di bawah garis kemiskinan dan butuh bantuan langsung.
Ketika rakyat berharap, anggaran untuk mereka justru diabaikan. Sementara pos hibah bahkan bisa melebihi target, menjadi Rp 66,04 miliar dari pagu Rp 63,45 miliar (104,07 persen). Siapa sebenarnya yang dihibahkan?
Langgar Batas Aman, Ancam Dana Daerah
Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 24 Tahun 2024, Belanja Pegawai maksimal hanya boleh 30 persen dari total belanja daerah.
Kenyataannya, Langkat mencatat 56,3 persen—nyaris dua kali lipat dari batas aman.
Jika terus dibiarkan, pemerintah pusat bisa saja menahan dana transfer ke daerah. Akibatnya? Rakyat lagi yang dikorbankan.
Rakyat Jangan Diam! Saatnya Tahu dan Kawal!
APBD adalah uang rakyat, bukan milik segelintir orang di lingkaran kekuasaan. Ketika birokrasi semakin kenyang dan masyarakat masih kelaparan pembangunan, suara rakyat wajib lantang!
Transparansi dan pengawasan mutlak dibutuhkan. Kita tidak bisa hanya pasrah melihat uang daerah dihabiskan tanpa manfaat nyata.
Masyarakat Langkat berhak tahu, bertanya, dan mengawal. Apakah APBD Langkat 2024 benar-benar untuk rakyat? Ataukah hanya untuk membuat birokrasi makin nyaman dan terlena?
Jawabannya ada di depan mata. Tinggal kita, mau diam atau bersuara.(Red)