Opini : Yong Ganas
Belum genap seratus hari pasca dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Langkat periode 2025-2030 oleh Presiden Prabowo Subiyanto, pasangan H. Syah Afandin SH dan Tio Rita Beru Surbakti sudah harus menghadapi gelombang demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda.
Aksi-aksi unjuk rasa itu menyasar berbagai instansi seperti DPRD, Kejaksaan, sejumlah dinas hingga Polres Langkat.
Menariknya, nama Bupati dan Wakilnya sejauh ini tak disebut langsung dalam tuntutan para demonstran.
Namun, intensitas aksi yang nyaris terjadi setiap pekan tetap memicu kegelisahan publik.
Opini yang terbangun perlahan tapi pasti: ada yang tak beres dengan pemerintahan Langkat hari ini.
Apakah ini murni jeritan nurani mahasiswa? Atau justru ada aroma orkestrasi untuk menggiring opini publik agar menjatuhkan kepercayaan terhadap pemerintahan yang baru seumur jagung ini?
Yang menjadi ganjalan adalah isi tuntutan yang cenderung normatif. Para pendemo menyerukan pencopotan kepala dinas tertentu atau pemeriksaan terhadap oknum ASN atas dugaan korupsi.
Namun, semua itu hanya disampaikan sebatas teriakan di jalanan.
Tak ada satu pun data konkret, dokumen pendukung, atau laporan resmi yang bisa menjadi dasar Kejaksaan atau Aparat Penegak Hukum untuk bekerja.
Tanpa bukti, sebuah dugaan hanya akan berakhir sebagai fitnah.
Sementara jika memang ada niat baik memperbaiki tata kelola pemerintahan, seyogianya mahasiswa hadir sebagai agen perubahan yang cerdas—bukan hanya sebagai pengeras suara yang menggaungkan isu tanpa dasar.
Lebih jauh lagi, kondisi ini—sedikit atau banyak—jelas memengaruhi kredibilitas Kabupaten Langkat yang sedang mencoba bangkit dari tatapan sinis dan gunjingan publik.
Tak bisa disangkal, sejumlah pejabat di masa lalu telah terjerat kasus korupsi: dari mantan bupatinya, hingga kepala dinas pendidikan,
Badan Kepegawaian Daerah, bahkan kepala sekolah. Reputasi yang telah tercoreng ini sedang coba diperbaiki oleh pemerintahan baru.
Namun sungguh prihatin, justru Bupati Langkat H. Syah Afandin kembali diganggu dari dalam: oleh ulah oknum pejabat OPD-nya sendiri yang kini menjadi sasaran demo, walau belum tentu terbukti salah.
Gerakan-gerakan seperti ini, tanpa diimbangi klarifikasi dan data, hanya akan membuat OPD bekerja dalam bayang-bayang tekanan politik dan ketakutan.
Pada akhirnya, pelayanan publik bisa tersendat, pembangunan terganggu, dan rakyat menjadi korban.
Jika ingin Langkat pulih, semua elemen harus bersatu dalam semangat perbaikan.
Mahasiswa dengan data dan solusi, pejabat dengan kinerja dan integritas, dan rakyat dengan kesadaran untuk memilah mana kritik yang murni dan mana yang penuh muatan.
Hanya dengan itu, Langkat bisa bangkit—bukan hanya dari korupsi, tapi juga dari kekacauan persepsi.(yong)