TELISIK | JAKARTA – Ratusan program beasiswa, baik yang dikelola pemerintah/pemda maupun swasta (perusahaan, lembaga filantropi, dll) dinilai belum berkontribusi optimal dalam meningkatkan Angka Partisipasi Murni (APM) anak-anak Indonesia di semua jenjang pendidikan dan mencegah mereka putus sekolah. Pemberian beasiswa perlu memperhatikan masa kritis siswa saat putus sekolah, serta memperbaiki proses pendataan, seleksi dan mekanisme pemyalurannya.
Hal ini mengemuka pada acara Dialog Pendidikan yang digelar Asa Dewantara di Jakarta. Forum diskusi yang membahas topik “Menyoal Aksesibilitas dan Efektivitas Beasiswa untuk Membantu Pendidikan Kelompok Miskin” ini mengupas berbagai dinamika dan tantangan dalam pengelolaan beasiswa, khususnya yang didedikasikan untuk anak-anak miskin. Acara ini menghadirkan 4 narasumber, yakni Nyimas Gandasari, M.I.Kom. (Peneliti Asa Dewantara), Vivi Alatas, Ph.D. (ekonom dan peneliti kemiskinan dan pendidikan), Doni Koesoema, M.Ed, (Pemerhati pendidikan dan Dosen Universitas Multimedia Nusantara), dan Rina Fatimah, S.Sos, M.Si. (GM Pendidikan Dompet Dhuafa), serta dihadiri para pengelola beasiswa, pendidik, pemerintah dan pemda, akademisi, pemerhati pendidikan, serta jurnalis media massa.
Nyimas Gandasari, M.I.Kom., Peneliti Asa Dewantara, menjelaskan bahwa kontribusi beasiswa ini bisa dilihat dari perkembangan Angka Partisipasi Murni (APM) di berbagai jenjang pendidikan. Data Susenas atau Survei Sosial Ekonomi Nasional (2021) menunjukkan masih terdapat 3 dari 100 anak usia 7-12 tahun tidak bersekolah di jenjang SD dan 55,22% diantaranya di daerah perdesaan. Pada jenjang SMP, sekitar 20 dari 100 anak usia 13-15 tahun tidak bersekolah. Begitupun di jenjang SMA, sekitar 31 dari 100 anak usia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA.
Kajian Asa Dewantara terhadap 150 progam beasiswa menguak beberapa faktor yang berkontribusi pada persoalan aksesibilitas ini. Salah satunya faktor ketidaktepatan sasaran. Misalnya, program beasiswa PIP (Program Indonesia Pintar) yang didedikasikan untuk memperluas akses pendidikan dasar dan menengah pada anak-anak miskin dan rentan usia 6-21 tahun, berdasarkan publikasi BPS tahun 2021, ternyata juga diakses kelompok menengah (10,03%), menengah atas (6,26%) dan kaya (2,24%). Selain itu, persyaratan yang rumit dan proses seleksi beasiswa pemerintah yang cukup lama juga membuat anak-anak miskin enggan mengakses dan memanfaatkannya.
Berbeda dengan program beasiswa pemerintah, program-program beasiswa yang dikelola lembaga nonpemerintah (perusahaan, lembaga filantropi, dll) relatif lebih cepat proses seleksinya. Persyaratan yang dibutuhkan juga tidak rumit. Sayangnya, sebagian besar beasiswa ini diperuntukkan anak-anak miskin yang berprestasi melalui prasyarat nilai, ranking, dan indikator prestasi akademik lainnya. “Dengan ketentuan tersebut, anak-anak miskin yang tidak berprestasi yang berkeinginan melanjutkan pendidikan tidak bisa mengaksesnya”. Selain itu, beasiswa non pemerintah yang mekanismenya lebih longgar sebenarnya bisa melakukan inovasi dalam pengembangan berbagai skema beasiswa dan mendanai beberapa kebutuan di luar biaya pendidikan yang tidak bisa dipenuhi pemerintah. ”Sayangnya, peran itu tidak dimainkan karena sebagian besar beasiswanya terfokus juga pada pembiayaan pendidikan,” jelas Nyimas.
Nyimas juga menilai program beasiswa belum diarahkan untuk mengatasi persoalan akses pendidikan anak usia dini yang dinilai urgen dan berdampak yang besar pada fase kehidupan. Pemerintah hanya mengalokasikan 2% dari total APBN Pendidikan yang ada bagi program PAUD. Angka tersebut masih sangat jauh dari apa yang dibutuhkan Indonesia dan rekomendasi UNESCO yang menyarankan alokasi 10% dari total anggaran pendidikan bagi program PAUD. Sehingga, alokasi beasiswa pun minim untuk mengatasi rendahnya angka partisipasi anak di pendidikan usia dini (PAUD). Data Susenas (2021) menunjukkan 59,83% (11.35 juta) dari jumlah anak berusia 3 – 6 tahun tidak terdaftar di PAUD dan 57,5% diantaranya tinggal di perdesaan. Persoalan Ini ternyata belum mendapatkan perhatian dan prioritas pengelola beasiswa. “Padahal, mengacu pada hasil kajian James Heckman (2008), dukungan untuk pendidikan anak usia dini itu sangat penting, biayanya lebih rendah, namun berdampak besar,”
Vivi Alatas, Ph.D., ekonom sekaligus peneliti kemiskinan dan pendidikan, menilai pemberian beasiswa juga belum memperhatikan masa kritis siswa saat putus sekolah. Menurutnya, kasus putus sekolah banyak terjadi di masa transisi sekolah di mana ijazah sudah ada di tangan siswa. Pada saat itu ada godaan besar untuk ikut bekerja, membantu orang tua, menikah, bahkan terjun ke jalanan. Apalagi kondisi ekonomi dan keuangan keluarga tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah, “Meski ada program beasiswa, drop out tak terhindarkan karena penyaluran beasiswanya terlambat, butuh waktu lama atau baru didapatkan jika mereka diterima di sekolah lanjutan atau perguruan tinggi. Mereka sudah berguguran sebelum beasiswa sampai di tangan,” katanya.
Untuk meningkatkan aksesibilitas beasiswa, Vivi menyarankan perbaikan terhadap dua hal, yakni pengumpulan data dan metode seleksinya. Di kedua aspek ini anak-anak miskin harus dipastikan terdata untuk kemudian dipilah dari kelompok kaya dan dipilih guna mendapatkan beasiswa yang menjadi haknya. “Dari berbagai studi menunjukkan bahwa komunitas perlu dilibatkan dalam proses pengumpulan data dan seleksi karena komunitas lebih tahu data keluarga yang miskin. Komunitas lebih cenderung berperan dalam mengatasi exclusion error dibandingkan inclusion error,’ katanya.
Vivi juga merekomendasikan agar beasiswa juga diarahkan tidak semata-mata untuk mengatasi ketimpangan akses, tapi juga kualitas pendidikan. Karena, studi OECD /The Organization for Economic Co-operation and Development (2018) menunjukkan bahwa upaya mengatasi ketimpangan kualitas pendikan ini dampaknya 9 kali lebih besar dibanding memperbaiki akses. “Misalnya, beasiswa diarahkan untuk meningkatkan kebiasaan membaca yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di kelompok miskin yang kemampuan literasimya masih rendah,” jelasnya. Ia juga menyarankan beasiswa juga bisa diarahkan untuk mendukung upskilling dan pelatihan-pelatihan jangka pendek serta pemagangan untuk mengatasi missmatch atau ketidaksesuaian antara kebutuhan pasar tenaga kerja dengan skill lulusan lembaga pendidikan, khususnya lulusan perguruan tinggi. “Beasiswa juga bisa ikut andll dalam mengatasi ketimpangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan di lembaga pendidikan dan tempat kerja dengan memberikan dukungan atau kuota khusus bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkannya” kata vivi.
Berkaitan dengan berbagai tantangan yang dihadapi, Rina Fatimah, GM Pendidikan Dompet Dhuafa menambahkan bahwa kapasitas ekonomi keluarga juga menjadi salah satu penghambat efektivitas beasiswa untuk kelompok miskin. Mengacu pada pengalaman pengelolaan beberapa program Beasiswa Dompet Dhuafa, seringkali beasiswa tidak bisa mencukupi biaya pendidikan, bahkan habis untuk menutupi biaya hidup keluarga. Karena itu, pengelola beasiswa harus memastikan jumlah beasiswa yang diberikan tidak hanya menanggung biaya pendidikan, tapi juga hiden cost yang terkait keberlanjutaan pendidikan penerimanya. “Beasiswa Etos yang dikelola Dompet Dhuafa. Misalnya, tidak hanya memberikan dukungan untuk UKT (Uang Kuliah Tunggal), tapi juga dukungan pendanaan untuk pengembangan kapasitas, peningkatan keterampilan bahasa asing, pemetaan minat dan bakat, pengembangan social project, sampai persiapan karir pasca kampus.” Katanya.
Untuk memastikan berbagai program beasiswanya bisa diakses oleh anak-anak miskin, Dompet dhuafa memberikan perhatian pada kemudahaan dan keluasan akses informasi. Lembaga filantropi Islam ini menggunakan beragam media komunikasi dan promosi yang mudah diakses masyarakat, mulai dari kanal komunikasi lembaga (website sampai media sosial), penglibatan kantor cabang di berbagai daerah untuk sosialiasi dan pendaftaran, serta sosialisasi melalui berbagai event. “Melalui program Kuliah Tak Gentar, Kami juga melakukan pendampingan, edukasi, dan motivasi terhadap para pelajar agar tidak putus sekolah dan punya tekad melanjutkan kuliah di perguruan tinggi,” katanya.
===========================================================================
Tentang Asa Dewantara
Asa Dewantara merupakan lembaga independen nirlaba yang didedikasikan untuk meningkatkan kualitas Pendidikan yang bisa diakses oleh semua warga Indonesia, terutama kelompok underprivileged (marginal) melalui kajian/penelitian, advokasi kebijakan, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan, serta pengembangan kemitraan lintas sektor untuk pemajuan sektor pendidikan.
Info lebih lengkap mengenai Asa Dewantara bisa diakses di www.asadewantara.org
Tentang Dompet Dhuafa
Dompet Dhuafa adalah lembaga filantropi dan kemanusiaan yang bergerak untuk | |
pemberdayaan umat (Empowering People) dan kemanusiaan. Pemberdayaannya bergulir | |
melalui pengelolaan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf (Ziswaf), serta dana sosial lainnya | |
yang terkelola secara modern dan amanah. Dalam pengelolaannya mengedepankan konsep | |
welas asih atau kasih sayang sebagai akar gerakan filantropis yang mengedepankan lima | |
pilar program yaitu Kesehatan, Pendidikan, Ekonomi, Sosial, serta Dakwah dan Budaya. |
Info lebih lengkap mengenai Dompet Dhuafa bisa diakses di www.dompetdhuafa.org
Narahubung :
Ahmad Fauzi. Communication and Media Relation Officer of Asa Dewantara: +62 816-1421-038
Rina Fatiman, GM Pendidikan Dompet Dhuafa: +62 821-1100-8002