Anakku Jalurnya ke Surga, Aku Ke…..?

- Tim

Rabu, 17 Juli 2024 - 20:45 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kisahku>> Darwis Yong

Ini tentang aku. Ya,ini cerita tentang perasaanku sebagai seorang ayah dari ketiga anak-anakku.

Jujur saja sebagai seorang kepala rumah tangga, aku bukanlah tipe kepala keluarga (KK) yang baik alias jauh dari kata sempurna.

Tapi dengan segala kelemahan dan keterbatasanku, aku tetap berupaya menafkahi keluarga kecilku.

Aku tak mau menceritakan kepada anak-anakku betapa berat dan kejamnya dunia luar sana saat mencari rejeki.

Mereka tak pernah tau bagaimana ayahnya berjuang mencari rupiah untuk mencukupi semua kebutuhan sandang dan pangan serta biaya sekolahnya.

Bagiku anak-anakku memang tak perlu tau apa yang kukerjakan, kalaupun mereka tau suatu saat nanti profesi ayahnya biarlah waktu yang menjelaskan semuanya.

Yang kumau anak-anakku tak pernah merasakan kelaparan, kehujanan dan kehausan. Biarlah aku menahan lapar seharian asal anakku dapat makan.

Aku tak pernah meminta imbalan apapun kepada anak-anakku, meskipun terkadang aku sadar kalau jalan yang kuambil adalah jalan yang salah atau jalan“menuju Neraka” tapi aku rela.

Dan itu adalah sebagai bentuk kasih sayang seorang ayah yang rela memilih jalan neraka untuk kebahagian anak-anaknya.

Jalan neraka yang kumaksud disini adalah karena Profesiku yang tak punya penghasilan tetap.

Aku terkadang menerima sejumlah imbalan untuk menutupi sebuah kejahatan, atau ikut bersekongkol dengan kejahatan itu, bahkan kadang melibatkan diri dalam sebuah perbuatan jahat.

Aku kadang mengabaikan kebenaran yang mestinya kusampaikan. Semua yang kulakukan tadi karena desakan dan himpitan ekonomi.

Terkadang aku berusaha menolak pemberian yang kutau asal usulnya hasil dari sebuah kejahatan.

Tapi disaat yang sama anakku butuh uang buat membayar SPP sekolahnya yang mulai menungak dan menganti bukunya yang robek serta membayar uang angsuran yang telah jatuh tempo.

Sering kuberdoa didalam hati, semoga semua makanan dan minuman yang kusuguhkan kepada anak-anakku tidak menjadikan darah daging mereka berprilaku tak baik.

Aku takut buah dari yang mereka santap menjadikan prilaku mereka menjadi tak terpuji.

Setiap hari dan minggu kupastikan aku selalu bersama anak-anakku. Aku tak mau menyia-nyiakan pertumbuhan anak-anak.

Alhamdulillah anak-anakku tumbuh layaknya anak-anak kebanyakan.

Dan tak terasa anakku yang paling sulung Jihan Maulida telahpun menamatkan sekolah dasar (SDIT-Iqra). Usai tamat dari SDIT Iqra, putri sulungku ini minta dimasukkan ke Pesantren.

Bahagia bercampur sedih hati ini rasanya. Bahagia karena doaku selama ini menginginkan anak-anakku masuk Pesantren dikabulkan Allah.

Sedihnya, terbayang olehku bagaimana anakku akan mengurus dirinya sendirian di Pesantren sana.

Sementara selama ini mulai dari mandi, makan hingga berpakaian diurusi oleh Mamanya. Putus rasanya jantungku bila mengingat itu.

Tapi aku teringat akan sebuah nasehat yang mengatakan, “ Biarlah kita menangis didunia ini, ketimbang nanti menangis diakhirat’sana.

Kuyakinkan hatiku, kukuatkan jantungku untuk mengantarkan anakku ke Pesantren. Setelah melihat beberapa Pondok Pesantren, ahirnya putriku memilih sebuah Pesantren dikawasan Tembung sana.

Usai mengurus pendaftaran dan menyelesaikan segala admitrasi, saatnya aku dan istri berkemas mengantarkan si Kakak masuk Pesantrenya.

Setiap aku sholat dan teringat akan putriku yang akan diantar masuk pesantren, bulir air matakupun jatuh tanpa diminta.

Dadaku terasa sesak, pikiranku menerawang entah kemana-mana. Kucoba menutupi kesedihanku, dengan cepat kusapu air mataku.

“ Mata babah kenapa.? tanya si kakak yang melihat kelopak mataku memerah dengan hidung seperti flu.

“ Ahh,ngak apa-apa, tadi waktu ambil air wudhu mata Babah masuk air, jawabku sekenanya. Meski jawabpanku tak membuat putriku puas, setidaknya dia mengangukkan kepalanya.

Setelah memarkirkan mobil persis disamping pos jaga Security, Koper warna abu-abupun diturunkan dari bagasi mobil.

Dengan mantap sikakak melangkah diikuti mamanya. Ayoklah, kata Mamanya yang melihatku sedikit lemas.

Lama kupandangi pintu gerbang warna biru yang membatasi pandangan dari luar kedalam asrama Putri.

“ Babah antarnya sampai pintu gerbang aja, karena laki-laki ngak boleh masuk ke Asrama perempuan, kata istriku.

Baca Juga :  Soal Dumas Oknum Bhayangkari, Kasi Propam Polres Langkat : Penyidik Sudah Diperiksa

Akupun berjalan perlahan mengikuti langkah istri dan anakku yang lebih dulu dari belakang.

Kupandangi roda kecil koper yang ditarik istriku diikuti putriku dengan tas pungung dibelakangnya.

Saat tiba dipintu gerbang, telah banyak orang tua yang mengantar dan menjemput anaknya kulihat.

Dibagian sudut dinding tertempel tulisan “ Batas Pengantaran”. Kupandangi sekeliling, asrama yang dipagari tembok seluas 10 Hektar tersebut.

“ Asrama perempuanya jauh lagi kedalam, jalannya dari sini, terus nanti sampai sana belok kanan,kata istriku sambil menunjuk arah jalan yang di paving blok itu.

“ Oh, kataku datar. Babah,kakak masuk ya, soalnya mau beresin kamarnya, kata anakku sambil mengguit tanganku.

“ Ya,ya,,kakak masuk sama Mama kan..? tanyaku. Digerbang ini tak banyak pesan yang kusampaikan, kupeluk erat anak yang selama ini kutimang-timang, kujaga tidurnya dari nyamuk, ku tak tidur karena badannya panas ditengah malam.

“ Air matakupun tumpah, entah kenapa aku begitu sedih, aku menjadi laki-laki yang lemah, ahh.. entahlah.

“ Ditengah tangisku tadi aku hanya berpesan kepada putriku, “ Nak, jaga dirimu baik-baik disini, karena disini semuanya dilakukan sendiri, kalau lapar ambil sendiri, kalau pakaianya kotor cuci sendiri, kalau sakit minum obat sendiri, jadi kakak harus kuat ya, “ Kataku sambil mengelus kepalanya.

“ Iya bah, jawabnya enteng. Setelah itu ia pun menarik koper kecilnya menuju asrama yang jaraknya dari pintu gerbang sekitar 150 meter.

Begitu ia melangkah pergi meningalkanku, remuk redam rasanya bathinku. Melihat anakku pergi meningalkanku, rasanya seperti Roh ku yang lepas dari jasatku.

“ Ya Allah kutitipkan anakku disini, tolong kau jaga dan lindungi anakku ya Allah, hanya engkaulah sebaik-baiknya pelindung,sehatkanlah ia selama menuntut ilmu dipesantren ini “ Gumamku dalam hati.

Lamat-lamat putrikupun hilang ditikungan pintu asrama. Tak sekalipun anakku menoleh kebelakang.

Satu bulan kemudian barulah diperbolehkan wali/ orang tua berkomunikasi dengan santri-santri dipondok, karena itu memang sudah menjadi aturan. Selama tiga bulan tak pernah kering air mataku memikirkan anakku dipesantren.

Alhamdulilah, setelah tiga tahun menjalani kehidupan didalam Pesantren kini anakku telahpun menamatkan pendidikanya. Kini ia melanjutkan pendidikan di SMA Plus Adzkia-Medan.

Meski masih tingal di Asrama sekolah, tapi bathinku lebih tenang, karena Putriku sudah beranjak remaja dan mulai terbiasa jauh dari keluarga.

Kini hal serupa terulang kembali. Putraku, Akbar mengikuti jejak kakaknya untuk masuk Pesantren.

Akbar yang baru tamat Sekolah Dasar (SD MIN-15) Stabat ini minta dimasukkan Pesantren juga. Putra semata wayangku ini yakin benar ingin menimba Ilmu agama di Pesantren.

Lama kupandangi wajah anakku yang satu ini. Kubayangkan hari-hari bersamanya. Jujur saja,kalau rasa sayangku kepadanya tak sebanding dengan kakak serta adiknya.

Bahkan, aku cenderung memarahinya meski kadang kesalahanya sepele, kata orang mungkin karena wajah kami begitu mirip.

Karena itu jugalah oleh (alm) ayahku, aku sempat dibuat upah-upah atau semacam syarat agar hatiku tak selalu panas melihat anakku Akbar.

Puncaknya, saat usia Akbar baru satu tahun lebih,tanpa sadar aku mengangkat dan melemparnya keatas tempat tidur.

Waktu itu Akbar kecil menangis setelah terbangun dari tidur nya. Bukanya aku simpati mendengar tangisanya, malah emosiku meledak dibuatnya.

Bak orang kesetanan, aku langsung meraih kakinya dan mencampakknya ketempat tidur. Untungnya dia tidak kenapa kenapa.

Sejak saat itulah oleh alm bapak, aku diberi syarat agar tidak emosian melihat Akbar. Seiring berjalannya waktu, Akbarpun tumbuh.

Aku sering menghabiskan waktu bersamanya, kadang kami mancing bersama, camping, masuk hutan trabas sepeda motor trail, Off Road, Nonton Bioskop dan lainya.

Akbar kecil tumbuh dengan cepatnya. Usai dikhitan, tubuhnya seperti dipompa. Usianya yang masih bau kencur diangap sudah remaja.

Apalagi teman-temanya di Komplek tempat tinggal kami tak ada yang SD, Akbar berteman dengan anak-anak SMP dan SMA.

Baca Juga :  Gandeng Ditjen EBTKE, Pemko Medan Lakukan Penerapan Manajemen Energi Gedung

Karena badanya yang besar tadi, Akbarpun masuk Remaja Masjid Komplek. Satu yang istimewa dari Akbar, ia tak pernah melewatkan sholat Mahgrib dan Isya.

Begitu juga ketika adanya Wirid Yasin di Komplek, Akbar selalu mengantikan aku yang kadang pulang kerja kemalaman.

Pada suatu hari saat bersamanya aku pernah berpesan kepada Akbar. “ Bang, kataku, ini pesan babah sama abang, Abang ingat ya Nak.., nanti kalau babah sudah tidak ada didunia ini atau mati, babah mau abanglah yang mensholatkan babah, memandikan dan memasukkan babah kedalam liang lahat,ingat itu ya Nak…! “ Pesanku sambil menyapu bahunya.

“ Ia bah,katanya sambil memandang wajahku. Makanya abang harus belajar agama yang benar, biar babah nanti belajar sama Abang.” Ujarku.

Perasanku tiga tahun lalu saat mengantar si Kakak ke Pesantren terulang lagi, saat ini kurasakan saat mengantar Akbar ke Pesantrenya di Al Fatah ( Temboro) di Magetan, Jawa Timur.

Menumpang Kapal Laut KM- Kelud dari Pelabuhan-Belawan, aku, istri dan Cinta (adik Akbar) serta beberapa orang keluarga lainya,ikut mengantar Akbar menuju Pesantrenya di Temboro.

“ Abang memang maukan masuk Pesantren ini, tanyaku setiap ada kesempatan, jangan nanti abang pikir enak di Pesantren, semuanya sendiri, abang harus bangun jam 4 pagi, mandi, sholat tahajud, sholat subuh, cuci baju sendiri, ambil makan sendiri, makanya juga ngak kayak dirumah, kataku meyakinkan dirinya.

“ Iya bah, ngak apa-apa Abang mau,jawabnya penuh percaya diri. “ Babah ngak mau abang berangapan kayak dibuang keluarga, karena pesantrenya jauh, jelasku.

Berdosa rasanya diriku karena perhatianku selama ini ala kadarnya saja padanya, bahkan kalau tidur malam. Akbar terbiasa sendirian dengan kain busuknya.

Dibandingkan kakak dan adiknya, Akbar adalah anak yang mandiri. Dari kecil ia hanya ditemani kain lembut yang kami sebut “ kain busuk”.

Sangkin sayangnya ia dengan kain busuknya tersebut, kami menyebutnya emak kedua si Akbar. Memang,kain busuk itu begitu istimewanya bagi Akbar, kalau ia menangis pasti yang dicarinya kain busuk itu.

Ia akan menutupi wajahnya dengan kain tersebut. Begitu juga saat ia pulang sekolah atau bermain, yang pertama dicarinya dirumah adalah kain busuk tadi.

Kain itu akan diciumi berulang kali,setelah ia puas kain itupun dibelitkan kelehernya. Dan kain busuk itupun ikut dibawa ke pesantren.

Mungkin karena ada kain busuk tadi, si Akbar tak merasa begitu kesepian dipesantren nantinya.

Tiap ada kesempatan didalam kapal, Akbar selalu kuajak berkombur tentang ini dan itu, ya kurasakan sebentar lagi aku akan melepasnya untuk waktu yang lama. Tiga tahun di Pesantren cukup menyesakkan dada.

Tiap malam selama dalam perjalanan berlayar, kupandangi wajah polos anakku itu.

Jujur air mataku menetes kedalam melihatnya tertidur dengan beban yang sebentar lagi akan ditangungnya, soal perasaanku hanya aku dan tuhanku yang tau. Begitu juga dengan istriku barangkali.

Meski terlihat tegar, tapi aku yakin perasaan istriku jauh lebih remuk dari hatiku.

Sebab, selama ini Akbar begitu dekat dengan ibunya. Apapun yang diminta Akbar, ibunyalah tempatnya meminta.

Selain akbar, ibunya juga berulang kali kutanya apakah yakin akan mengantar anaknya jauh ke Pulau Jawa.

“ Aku sudah kuat, biarlah aku menderita hari ini, berpisah karena dia belajar agama ketimbang nanti salah pergaulan, salah jalan, kalau anak salah jalan yang salah bukan ayahnya, tapi ibunya,

ibulah yang bertangung jawab anaknya mau kemana dan jadi apa, sedangkan ayah hanya berkewajibpan mencari nafkahnya. “ Kata istriku coba menguatkan hati.

“ Mari kita saling menguatkan, saling mendoakan semoga anak-anak senantiasa sehat selama dipesantren, dan kita juga sehat selalu, kita berpisah didunia tak mengapa asal berkumpul nanti di sana (Akhirat). “ Ketus mamanya Akbar. Aminnn… Yarabbal allamin.. (yong)

Berita Terkait

Syah Afandin Dorong Efisiensi Anggaran dan Disiplin ASN di Peringatan HKN
Mempererat Kebersamaan, Wali Kota Medan Gelar Buka Puasa Bersama Pemangku Kepentingan
Wali Kota Medan Temui Mahasiswa: Kritik Konstruktif Bantu Kami Bekerja Lebih Baik
“Dikorbankan demi Tutup Lubang APBD: Honorer Langkat Digilas Sistem!”
Safari Ramadhan Ke Masjid At Thoyyibah, Ini Pesan Wakil Wali Kota Medan
Rico Waas-Zakiyuddin Harahap Fokus Sektor Kesehatan, Pendidikan, Stabilitas Pangan
Resmikan Revitalisasi Pasar Simalingkar, Bobby Nasution: Pembangunan ini Konsep Kolaborasi Pemerintah dan Pedagang
Pj. Bupati Langkat Pamit, Tinggalkan Pesan Keimanan dan Kebersamaan
Berita ini 126 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 18 Maret 2025 - 11:51 WIB

Syah Afandin Dorong Efisiensi Anggaran dan Disiplin ASN di Peringatan HKN

Sabtu, 15 Maret 2025 - 08:16 WIB

Mempererat Kebersamaan, Wali Kota Medan Gelar Buka Puasa Bersama Pemangku Kepentingan

Sabtu, 15 Maret 2025 - 07:53 WIB

Wali Kota Medan Temui Mahasiswa: Kritik Konstruktif Bantu Kami Bekerja Lebih Baik

Rabu, 12 Maret 2025 - 19:30 WIB

“Dikorbankan demi Tutup Lubang APBD: Honorer Langkat Digilas Sistem!”

Jumat, 7 Maret 2025 - 21:02 WIB

Safari Ramadhan Ke Masjid At Thoyyibah, Ini Pesan Wakil Wali Kota Medan

Berita Terbaru